GMKI:
GERAKAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN MORAL

By: Desy Melati Lubis, AKT’15

Organisasi ini bernama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), organisasi yang berlandaskan nilai oikumenisme dan nasionalisme. Berkedudukan di tempat Pengurus Pusat, Lembaga Eksekutif tertinggi GMKI berada. Catatan historis kehidupan GMKI merupakan referensi yang penting dalam mengenal dan memahami GMKI sebagai organisasi kaderisasi yang dinamis. Gerakan ini bermula dari pernyataan pembentukan CSV Op Java pada Konferensi Pemuda Kristen di Kaliurang Jogyakarta, 28 Desember 1932. Hal ini kemudian berkembang menjadi peleburan PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan CSV Op Java pada 9 Februari 1950 di rumah Dr. Johanes Leimena, Jl. Teuku Umar No 36 Jakarta. Johannes Leimena dalam pidatonya pada saat itu mengatakan – Tindakan ini adalah tindakan historis bagi dunia mahasiswa pada umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (Leerschool) dari pada orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan dari pada Negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah gesselschaft melainkan ia adalah suatu gemeinschaft persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar, baik dalam gereja maupun dalam nusa dan bangsa, Sebagai suatu bagian daripada iman dan roh ia berdiri ditengah-tengah dua proklamasi, proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 dan proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan-Nya

GMKI berkembang menjadi organisasi yang disegani dan didukung oleh situasi yang memberi kesempatan bagi GMKI untuk beraktualisasi dalam dinamika di kampus, gereja dan masyarakat. Disamping itu, GMKI merupakan satu-satunya organisasi Kristen yang eksis pada masa itu, sehingga banyak mahasiwa Kristen yang mengenal GMKI. Namun, tidak semua yang dilakukan oleh GMKI berakhir menjadi kesuksesan dan prestasi. Tidak jarang GMKI mendapat kritik dari berbagai pihak karena perilaku anggota ataupun pengurusnya, termasuk juga kritik terkait stigma yang melekat di GMKI yaitu “GMKI gemar berpolitik”. Kegemaran berpolitik terlihat dalam profesi senior-senior GMKI. Beberapa dari senior GMKI berhasil membangun karir dalam dunia politik Indonesia. Kesuksesan senior itu memiliki dua makna yang saling bertentangan. Satu sisi menunjukkan kebanggaan, di sisi lain menimbulkan beban sejarah. Masyarakat yang tidak mengerti seluk-beluk GMKI dan dinamika di dalamnya akan beranggapan bahwa GMKI adalah organisasi pencipta politikus-politikus masa kini yang berkedok organisasi mahasiswa kristiani. Motivasi pokok yang awalnya luhur berganti menjadi berlumpur. Mahasiswa berbondong-bondong masuk GMKI karena mereka ingin memiliki jaringan (GMKI Network) atau ingin menduduki kursi elit pemerintahan. Hal ini sungguh menyederhanakan makna berorganisasi. GMKI bukan mempersiapkan kader untuk bermain di dunia politik, namun mempersiapkan pemimpin dan penggerak yang ahli dan bertanggung jawab yang berkiprah pada berbagai tatanan pelayanan di masyarakat. Baik itu menjadi pengusaha, akademisi, birokrat, aktivis atau bahkan menjadi petani dan mengembangkan desa.

GMKI juga acap kali dilabeli sebagai ‘tukang demo’ yang radikal. Sebagian mahasiswa memahami demonstrasi sebagai kegiatan seremonial yang tak sarat makna. Demonstrasi berubah menjadi gaya hidup semata dan dieksekusi asal-asalan. Seharusnya, demonstrasi mahasiswa adalah corak gerakan yang melahirkan bobot pemikiran baru. Bukan menciptakan huru-hara, polusi suara, perusakan fasilitas dan juga kemacetan lalu lintas. GMKI turut andil dalam kemunduran ini. Ketajaman analisis, pemikiran-pemikiran konstruktif dan aksi sosial nyata tinggal catatan tanpa nama di bunga rampai perjalanan organisasi. Peran GMKI di medan pelayanan sedikit demi sedikit tereduksi menjadi peran ‘setengah-setengah’. Setengah menjalankan peran politik, setengah menjadi jurnalis media massa dan setengah menjadi mahasiswa berintelek tinggi dengan janji-janji manis bagi penghuni perguruan tinggi yang ingin diajak berorganisasi. Peran GMKI sedikit, tanggung, setengah-setengah dan penuh romantisme masa lalu yang tidak bergerak maju. GMKI kini cenderung “minim berolah gagasan”. Kalau pun ada, maka lebih sering normatif dan tidak realistis. GMKI masa kini cenderung senang dalam konsep utopis ketimbang kritis dan humanis. Makin sedikit kader GMKI yang mengkonsumsi pengetahuan dan berdiskusi kritis dengan pola pikir yang metodologis. Padahal, pada zaman pergerakan melawan penjajahan dahulu, GMKI beserta kaum terpelajar lainnya berperan penting dan sukses menumbangkan penjajahan. Mereka juga berhasil menciptakan sistem alternatif. Mereka mampu mempelopori gerakan demonstratif yang berubah menjadi gerakan moral dan gerakan pemikiran.

GMKI bertumbuh dan berkembang hingga sekarang. Mengalami maju-mundur dalam pola gerakan serta stagnan untuk beberapa kesempatan. Jaman semakin berkembang ke arah kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi digital. GMKI lagi-lagi dituntut untuk bertahan dan beradaptasi sebagai suatu gerakan kaderisasi yang dinamis. Fungsi impresi-ekspresi GMKI menjadi salah satu metode jitu untuk tidak terjebak dalam arus globalisasi dan maraknya pandemi yang melanda negeri. Andai kata GMKI mampu untuk mengelola sumber daya dan nilai-nilai yang dimilikinya, maka akan ada secuil harapan. Namun realitas yang kejam menghantam GMKI dan menimbulkan tanda tanya kontroversial, “Jika GMKI diberi pilihan, berapa lama waktu yang tersisa untuk GMKI? Berapa lama GMKI dapat bertahan di tengah-tengah perubahan jaman yang kian pesat? Lima tahun, sepuluh tahun?” Realitas yang terjadi sekarang, jajanan GMKI sudah mulai tidak laku. Sudah banyak organisasi atau komunitas-komunitas di luar sana yang juga menjajakan hal yang serupa dengan yang GMKI miliki, sebut saja; kemampuan manajerial organisasi, fungsi sekolah komplementer, tempat ibadah dan penelaahan alkitab, kemampuan kepemimpinan, tentoran, kemampuan softskill untuk bertahan di dunia profesional dan ilmu-ilmu sejenis lainnya yang selalu kita-kader GMKI, gaungkan kepada khalayak umum ataupun kepada warga perguruan tinggi secara khusus. Kemampuan-kemampuan yang tadinya adalah asset istimewa organisasi dan kualitas eksklusif kader GMKI sudah menjadi kemampuan pasaran yang siapapun bisa miliki.

Ada satu hal yang bisa menjadi nilai jual GMKI, nilai-nilai dan pemikiran. Namun, kini pun nilai-nilai bukan hal yang diminati mahasiswa masa kini. Mereka lebih tertarik dengan fungsi praktis dan dunia kerja yang lebih pragmatis. Di dunia kerja, nilai-nilai ideal tidak memiliki ruang untuk tinggal. Di dunia kerja, etika dan moral ada di urutan kesekian dibandingkan pengalaman dan kemampuan profesional. Pun pemikiran, Sudah bukan lagi ujung tombak yang digunakan GMKI dalam berburu. GMKI terjebak dalam fatamorgana beban sejarah dan dinamika internal berkepanjangan. GMKI tidak sempat meluangkan waktu untuk menelurkan pemikiran-pemikiran baru. Ide-ide dan sumbangsih konsep perbaikan tatanan masyarakat yang ideal hanya tinggal angan-angan semu. Gereja tidak lagi menjadi orang tua kandung yang dahulunya GMKI selalu turut serta untuk menjalankan Tri Tugas Panggilannya. Hanya tinggal Perguruan Tinggi yang menjadi kesempatan terakhir GMKI untuk unjuk gigi. Ironisnya, di kandang sendiri GMKI justru dijinakkan, di langgam kerja yang katanya tempat mahasiswa-mahasiswa yang ber-GMKI berdiam diri, mereka kalah telak. Kader GMKI kalah saing dari aktivis jalur prestasi dan lulusan komunitas-komunitas bergengsi Perguruan Tinggi. Visi dan Misi yang menjadi fondasi filosofis dan acuan (framework of refference) bagi beroperasinya organisasi GMKI dari masa ke masa, hanya tinggal semboyan dalam kenangan.

Usaha pengejawantahan visi dan misi menjadi persoalan pelik yang enggan di bahas oleh kader GMKI. Visi dan misi menjadi gagasan tidak masuk akal untuk terus diperjuangkan. Hal ini terlihat dari aktivitas-aktivitas GMKI yang sedikit aksi, miskin literasi dan abai akan program inti. Jika dilihat dari luar GMKI terlihat adaptif dan melek teknologi. Dibungkus dengan advokasi isu-isu digitalisasi dan penggunaan media sosial dengan pernak-pernik konten masa kini yang nol literasi. Namun, internalnya bobrok dan kesulitan untuk beradapsi mengelola organisasi. Ketika komunitas yang lain sudah bisa berjalan sendiri dan memodifikasi sistem organisasi mereka, GMKI masih berkutat dengan birokrasi dan aturan organisasi. Kader GMKI lupa, bahwa GMKI memiliki fungsi impresi-ekspresi yang bisa diandalkan dalam mengelola fenomena pelik dan menghasilkan solusi jitu bagi kelangsungan hidup organisasi. GMKI memang organisasi terstruktur dengan selusin peraturan strategis hingga teknis. GMKI juga menjunjung tinggi etika organisasi dan serius dalam pemantapan tata laksana organisasi. Namun, GMKI juga harus dinamis dan fleksibel agar dapat bertahan di lautan modernisasi dan semakin maraknya liberalisasi. GMKI barus mampu berevolusi menjadi gerakan yang canggih tetapi tetap filosofis. Seperti halnya membuat kue, jika dulu kita mementingkan rasa yang enak dan tidak terlalu mempermasalahkan tampilan kue. Maka, kini kue-kue yang diminati oleh market (pasar) adalah kue-kue yang cantik dan aesthetic yang ditempa di panggangan roti berteknologi mutakhir. Pesanan-pesanan yang datang untuk kue-kue itu memiliki permintaan yang mirip, ‘kue yang cantik dan mendukung untuk pemotretan fotogenik’. Tidak masalah jika tidak terlalu enak atau rasanya biasa saja, asalkan cantik maka pembeli akan senang dan membayar mahal. GMKI tidak demikian, karena GMKI harus berdiri di sisi kue yang enak namun tetap cantik. Kue yang dihasilkan dengan resep nenek moyang, dibuat dengan bahan-bahan rahasia, menggunakan peralatan canggih yang hemat tenaga, dan dimasak dengan penuh cinta. GMKI adalah konsep yang seperti itu. Organisasi yang elegan, mahal, tanpa menanggalkan nilai-nilai fundamental.

GMKI perlu mengalami rekonstruksi dalam sistem organisasi agar lebih maju dan tidak rigid (kaku). Alat perlengkapan organisasi sudah saatnya merombak struktur kepengurusan menjadi lebih fungsional dan praktis dalam menjalankan uraian tugas. Bukan lagi struktur yang hanya gemuk tetapi tidak efektif. Kualitas harus sejalan dengan kuantitas, perbandingan harus 1:1 bukan lagi 1:2 atau bahkan 1:3. Jika dulu jumlah pengurus sering tidak berbanding lurus dengan tingkat efektivitas mereka dalam menjalankan usaha organisasi, maka kini harus diperbaiki. GMKI sering kali terjebak dalam hukum pareto, dari 100% hasil kinerja pengurusnya, 80% diantaranya dilakukan oleh 20% dari total jumlah pengurus. Sudah saatnya GMKI berbenah, 15 orang pengurus dalam satu kelembagaan GMKI, hendaklah juga ada 15 kualitas kader yang mumpuni dalam ber-visi serta ber-misi. Tidak hanya menumpang nama dan menambah beban kepengurusan. Struktur yang lebih fungsional bisa menjadi alternatif pilihan dalam mengatasi masalah ini. Menciptakan struktur yang lebih detail, jelas dan terarah akan membantu pengurus untuk fokus pada satu tujuan. Mengembangkan kemampuannya dengan lebih maksimal dan menjadi spesialis di bidangnya, bukan ‘setengah dewa’ yang ilmunya setengah disini dan setengah disana. Metode koordinasi yang kolaboratif lebih luwes untuk diterapkan, karena setiap orang memiliki satu keahlian yang ditekuni dengan teliti. Sehingga, kemungkinan untuk berkonflik karena beda pendapat terhadap satu bidang atau merasa lebih unggul di satu kemampuan dapat dihindari.

GMKI juga sudah saatnya beranjak dari metode kaderisasi primordial menuju kaderisasi tersistem dan terintegrasi. Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI 2006 hadir untuk menjadi acuan dalam sistem pendidikan kader GMKI. Meskipun tidak ada jaminan ketika implementasi PDSPK ini dijalankan maka pendidikan kader GMKI akan berjalan baik pula. Ada banyak opini popular dan tidak popular yang berseliweran terkait PDSPK GMKI 2006, “PDSPK GMKI 2006 sudah tidak relevan untuk saat ini” dan pernyataan-pernyataan sejenis yang berujung pada tuntutan untuk merombak PDSPK 2006, menyusun sistem pengkaderan yang baru dan relevan, serta opini-opini bernada serupa. Dibandingkan terjebak dengan debat tidak berujung dan perencanaan abstrak yang masih belum tentu kapan realisasinya, lebih baik mengabaikan opini-opini di atas dan bergerak menuju pendidikan kader yang tersistem dan terintegrasi. Pengkaderan luring (luar jaringan) tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk memproses anggota untuk menjadi kader. Implementasi pendidikan kader bisa diterapkan dengan prinsip digitalisasi. Materi-materi dan konsep kaderisasi disalurkan dalam konten-konten e-learning (video kreatif, e-book, podcast, dll). Freire & Pereira (2008) mendefenisikan e-learning sebagai pembelajaran pada program pendidikan atau pelatihan melalui sarana elektronik. Konten-konten ini terhimpun dalam satu sistem ruang digital yang bisa diakses oleh seluruh elemen organisasi GMKI. Sehingga, kedepannya GMKI memiliki kelas-kelas digital rutin tentang kaderisasi dan melengkapi fungsinya sebagai sekolah komplementer bagi anggota/kadernya. Pelatihan-pelatihan luring tidak lagi menjadi program utama dan titik berat pengkaderan GMKI. Pelatihan-pelatihan luring bisa bertransformasi menjadi salah satu metode pengkaderan yang dapat dinikmati oleh pesertanya dan tidak menjadi beban kerja bagi penyelenggaranya. Aktivitas luring bukan dihilangkan dalam sekejap, melainkan difokuskan fungsinya. Sehingga, fungsi pendekatan personal, diskusi informal dan politik meja makan yang terkenal di jagad GMKI dapat tetap berjalan, justru mungkin lebih maksimal.

Nilai-nilai GMKI sebagai pondasi utuh dari keseluruhan konsep ruang dan waktu yang menggerogoti GMKI akan tetap eksis sekalipun revolusi industri mencapai 6.0 atau teknologi AI (Artificial Intelligence) menjadi keseharian di masa depan. Organisasi GMKI akan selalu awet muda, sekalipun mengalami amandemen dari waktu ke waktu dan revolusi sistem organisasi menuju versi terbaru. Karena, pada dasarnya GMKI berdiri sebagai pelopor perubahan akibat penindasan, kemiskinan, pembodohan, diskriminasi, marjinalisasi dan eksploitasi di negeri ini. GMKI menangkap fenomena-fenomena ini dan melakukan pengkajian teologis dan filosofis untuk kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cermerlang. GMKI dalam rangka positioning dan aktualisasi perannya menjawab problematika yang berkaitan dengan keragaman (denominasi) gereja, secara arif dijawab dengan konsep oikumene. Disamping itu, dalam rangka positioning orang Kristen (dan GMKI sebagai gereja incognito) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dijawab dengan konsepsi ‘berdiri di antara dua proklamasi’, yaitu; Proklamasi Injil Kristus dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kedua buah pemikiran inilah yang membentuk paradigma organisasi GMKI, yaitu gerakan Oikumenisme dan Nasionalisme. Arnold Toynbee, sejarawan Inggris yang meneliti maju mundur dan jatuh bangunnya 26 peradaban besar dunia mengatakan bahwa kemampuan suatu peradaban menjawab tantangan dan melakukan perubahan sehingga tetap eksis ditentukan oleh sejumlah orang yang biasanya dari segi jumlah tidak banyak, namun karena superioritas roh dan jiwanya maka mereka ini mampu memperngaruhi massa yang pasif menjadi penganut yang aktif. Inilah peran GMKI, menjadi creative minority yang senantiasa membawa perubahan melalui gerakan pemikiran dan gerakan moral. Meninggalkan sifat sumbu pendek yang suka demonstrasi tetapi tidak berisi. Sudah saatnya GMKI bersuara dengan logika, fakta-fakta dan serangkaian kajian ilmiah yang berbuah solusi intelek, bukan sekedar aksi keluh-mengeluh yang cetek.

 

Narasi.pdf (unduh)

5 2 votes
Article Rating